1. Definisi
Kekuasaan
Banyak seorang ahli yang telah menyatakan
definisi-definisi dari kekuasaan. Seperti yang telah dikemukakan dalam bukunya
Thoha (2003: 92-93), yang meliputi:
a. MAX
WEBER
Dia merumuskan kekuasaan itu sebagai suatu
kemungkinan yang membuat seorang aktor di dalam suatu hubungan sosial berada
dalam suatu jabatan untuk melaksanakan keinginannya sendiri dan yang
menghilangkan halangan.
b. WALTER
NORD
Merumuskan kekuasaan itu sebagai suatu kemampuan
untuk mempengaruhi aliran, energi dan dana yang tersedia untuk mencapai suatu
tujuan yang berbeda secara jelas dari tujuan lainnya. Kekuasaan dipergunakan
hanya jika tujuan-tujuan tersebut paling sedikit mengakibatkan perselisihan
satu sama lain.
c. RUSSEL
Mengartikan kekuasaan itu sebagai suatu produksi
dari akibat yang diinginkan.
d. BIERSTEDT
Mengatakan bahwa kekuasaan itu kemampuan untuk
mempergunakan kekuatan.
e. WRONG
Membatasi kekuasaan hanya pada suatu kontrol atas
orang lain yang berhasil.
f. DAEHL
Mengatakan bahwa jika orang A mempunyai kekuasaan
atas orang B maka A bisa meminta B untuk melaksanakan sesuatu yang tidak bisa
dilakukan oleh B terhadap A.
Pengertian Kekuasaan ialah suatu sumber yang
memungkinkan seseorang mendapatkan hak untuk mengajak, mempengaruhi dan
meyakinkan orang lain.
Kekuasaan dapat diperoleh dari pengaruh pribadi,
jabatan pribadi atau diperoleh keduanya. Seseorang yang mempunyai kemampuan
untuk mempengaruhi perilaku orang lain untuk melakukan kerja karena jabatan
organisasi yang dijabatnya, maka orang tersebut akan mempunyai kekuasaan
jabatan. Adapun juga orang yang memperoleh kekuasaan dari para pengikutnya
dikatakan mempunyai kekuasaan pribadi.Ada juga orang yang mempunyai
kedua-duanya, kekuasaan jabatan dan kekuasaan pribadi.
2. Menurut
French dan Raven, ada lima tipe kekuasaan, yaitu :
a. Reward
power (kekuasaan imbalan)
Tipe kekuasaan ini memusatkan perhatian pada
kemampuan untuk memberi ganjaran atau imbalan atas pekerjaan atau tugas yang
dilakukan orang lain. Kekuasaan ini akan terwujud melalui suatu kejadian atau
situasi yang memungkinkan orang lain menemukan kepuasan. Dalam deskripsi
konkrit adalah ‘jika anda dapat menjamin atau memberi kepastian gaji atau
jabatan saya meningkat, anda dapat menggunkan reward power anda kepada saya’.
Pernyataan ini mengandung makna, bahwa seseorang dapat melakukan reward power
karena ia mampu memberi kepuasan kepada orang lain.
b. Coercive
power (kekuasaan paksaan)
Kekuasaan yang bertipe paksaan ini, lebih memusatkan
pandangan kemampuan untuk memberi hukuman kepada orang lain. Tipe koersif ini
berlaku jika bawahan merasakan bahwa atasannya yang mempunyai ‘lisensi’ untuk
menghukum dengan tugas-tugas yang sulit, mencaci maki sampai kekuasaannya
memotong gaji karyawan. Menurut David Lawless, jika tipe kekuasaan yang poersif
ini terlalu banyak digunakan akan membawa kemungkinan bawahan melakukan
tindakan balas dendam atas perlakuan atau hukuman yang dirasakannya tidak adil,
bahkan sangat mungkin bawahan atau karyawan akan meninggalkan pekerjaan yang
menjadi tanggung jawabnya.
c. Referent
power (kekuasaan referen)
Tipe kekuasaan ini didasarkan pada satu hubungan
‘kesukaan’ atau liking, dalam arti ketika seseorang mengidentifikasi orang lain
yang mempunyai kualitas atau persyaratan seperti yang diinginkannya. Dalam
uraian yang lebih konkrit, seorang pimpinan akan mempunyai referensi terhadap
para bawahannya yang mampu melaksanakan pekerjaan dan bertanggung jawab atas
pekerjaan yang diberikan atasannya.
d. Expert
power (kekuasaan ahli)
Kekuasaan yang berdasar pada keahlian ini, memfokuskan
diri pada suatu keyakinan bahwa seseorang yang mempunyai kekuasaan, pastilah ia
memiliki pengetahuan, keahlian dan informasi yang lebih banyak dalam suatu
persoalan. Seorang atasan akan dianggap memiliki expert power tentang pemecahan
suatu persoalan tertentu, kalau bawahannya selalu berkonsultasi dengan pimpinan
tersebut dan menerima jalan pemecahan yang diberikan pimpinan. Inilah indikasi
dari munculnya expert power.
e. Legitimate
power (kekuasaan legitimasi)
Kekuasaan yang sah adalah kekuasaan yang sebenarnya
(actual power), ketika seseorang melalui suatu persetujuan dan kesepakatan
diberi hak untuk mengatur dan menentukan perilaku orang lain dalam suatu
organisasi. Tipe kekuasaan ini bersandar pada struktur social suatu organisasi,
dan terutama pada nilai-nilai cultural. Dalam contoh yang nyata, jika seseorang
dianggap lebih tua, memiliki senioritas dalam organisasi, maka orang lain
setuju untuk mengizinkan orang tersebut melaksanakan kekuasaan yang sudah
dilegitimasi tersebut.
Teori-teori Kepemimpinan Partisipatif
1. Teori
X dan Teori Y (DOUGLAS MC GREGOR)
Douglas McGregor telah merumuskan dua model yang dia
sebut Teori X dan Teori Y.
1) Asumsi
teori X yaitu rata-rata manusia memiliki bawaan tidak menyukai pekerjaan dan
akan menghindarinya jika dia bisa.
a.
Karena mereka tidak suka bekerja, kebanyakan orang harus dikontrol dan
terancam sebelum mereka akan bekerja cukup keras.
b.
Manusia rata-rata lebih suka diarahkan, tidak menyukai tanggung jawab,
adalah jelas, dan keinginan keamanan di atas segalanya.
c.
Asumsi ini terletak di belakang hari ini sebagian besar prinsip-prinsip
organisasi, dan menimbulkan baik untuk "sulit" manajemen dengan
hukuman dan kontrol ketat, dan "lunak" manajemen yang bertujuan untuk
harmoni di tempat kerja.
d. Kedua
ini adalah "salah" karena pria perlu lebih dari imbalan keuangan di
tempat kerja, dia juga membutuhkan motivasi lebih dalam tatanan yang lebih
tinggi - kesempatan untuk memenuhi dirinya sendiri.
e. Teori
X manajer tidak memberikan kesempatan ini staf mereka sehingga karyawan
diharapkan berperilaku dalam mode.
Teori Y Asumsi
a.
Pengeluaran upaya fisik dan mental dalam bekerja adalah sebagai alam
seperti bermain atau istirahat.
b.
Pengendalian dan hukuman bukan satu-satunya cara untuk membuat orang
bekerja, manusia akan mengarahkan dirinya sendiri jika ia berkomitmen untuk
tujuan organisasi.
c. Kalau
suatu pekerjaan memuaskan, maka hasilnya akan komitmen terhadap organisasi.
d. Pria belajar
rata-rata, di bawah kondisi yang tepat, tidak hanya untuk menerima tetapi
mencari tanggung jawab.
e.
Imajinasi, kreativitas, dan kecerdikan dapat digunakan untuk memecahkan
masalah-masalah kerja dengan sejumlah besar karyawan.
f. Di
bawah kondisi kehidupan industri modern, potensi intelektual manusia rata-rata
hanya sebagian dimanfaatkan.
2) Teori
Sistem 4 dari Rensis Likert
a.
Manajemen Sistem
Tahun 1960-an Likert dikembangkan empat sistem
manajemen yang menggambarkan hubungan, keterlibatan, dan peran antara manajemen
dan bawahan dalam pengaturan industri.Keempat sistem adalah hasil dari
penelitian bahwa ia telah dilakukan dengan sangat produktif supervisor dan
anggota tim mereka Perusahaan Asuransi Amerika. Belakangan, ia dan Jane G.
Likert merevisi sistem berlaku untuk pengaturan pendidikan. Mereka awal revisi
itu dimaksudkan untuk menjelaskan peran kepala sekolah, siswa, dan guru;
akhirnya individu-individu lain di dunia akademik dimasukkan seperti pengawas,
administrator, dan orangtua.
b.
Eksploitatif sistem otoritatif
Dalam jenis sistem manajemen tugas pegawai / bawahan
adalah untuk mematuhi keputusan yang dibuat oleh manajer dan mereka yang
memiliki status yang lebih tinggi daripada mereka dalam organisasi.Bawahan tidak
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.Organisasi yang bersangkutan hanya
tentang menyelesaikan pekerjaan. Organisasi akan menggunakan rasa takut dan
ancaman untuk memastikan karyawan menyelesaikan pekerjaan ditetapkan. Tidak ada
kerja tim yang terlibat.
c.
Kebajikan sistem otoritatif
Seperti halnya dalam sebuah sistem berwibawa
eksploitatif, keputusan dibuat oleh orang-orang di bagian atas organisasi dan
manajemen.Namun termotivasi karyawan melalui penghargaan (untuk kontribusi
mereka) daripada ketakutan dan ancaman.Informasi dapat mengalir dari bawahan
kepada manajer tetapi terbatas pada "manajemen apa yang ingin
dengar".
d.
Sistem konsultatif
Dalam jenis sistem manajemen, bawahan termotivasi
oleh penghargaan dan tingkat keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan.
Manajemen konstruktif akan menggunakan bawahan mereka ide-ide dan pendapat.
Namun keterlibatan tidak lengkap dan keputusan besar masih dibuat oleh
manajemen senior.Ada aliran informasi yang lebih besar (daripada dalam sistem
berwibawa murah hati) dari bawahan kepada manajemen.Meskipun informasi dari
bawahan kepada manajer tidak lengkap dan eufimistis.
e.
Partisipatif (kelompok) system
Manajemen sepenuhnya percaya pada bawahan /
karyawan. Ada banyak komunikasi dan bawahan sepenuhnya terlibat dalam proses
pengambilan keputusan. Bawahan nyaman menyatakan pendapat dan ada banyak kerja
sama tim. Tim dihubungkan bersama-sama oleh orang-orang, yang menjadi anggota
lebih dari satu tim. Likert panggilan orang di lebih dari satu kelompok
"menghubungkan pin".Karyawan di seluruh organisasi merasa bertanggung
jawab untuk mencapai tujuan organisasi.Tanggung jawab ini terutama sebagai
bawahan motivasi ditawarkan imbalan ekonomi untuk mencapai tujuan organisasi
yang mereka telah berpartisipasi dalam pengaturan.
3) Teori
of Leadership Pattern Choice Tannenbaum dan Schmidt
Model delegasi dan tim pengembangan Tannenbaum dan
Schmidt Continuum adalah sebuah model sederhana yang menunjukkan hubungan
antara tingkat kebebasan yang seorang manajer memilih untuk diberikan kepada
tim, dan tingkat kewenangan yang digunakan oleh manajer. Sebagai kebebasan tim
meningkat, sehingga otoritas manajer berkurang. Ini adalah cara yang positif
bagi kedua tim dan manajer untuk berkembang. Sementara model Tannenbaum dan
Schmidt keprihatinan kebebasan didelegasikan ke grup, Prinsip yang mampu
menerapkan berbagai tingkat kebebasan didelegasikan erat berkaitan dengan
'delegasi tingkat' pada delegasi halaman. Sebagai seorang manajer, salah satu
tanggung jawab Anda adalah untuk mengembangkan tim Anda. Anda harus
mendelegasikan dan meminta sebuah tim untuk membuat keputusan sendiri untuk
berbagai tingkatan sesuai dengan kemampuan mereka.
Berikut adalah Tannenbaum dan Schmidt Continuum
didelegasikan tingkat kebebasan, dengan beberapa tambahan penjelasan bahwa
seharusnya membuat lebih mudah untuk memahami dan menerapkan.
a.
Manajer memutuskan dan mengumumkan keputusan.
b.
Manajer memutuskan dan kemudian 'menjual' keputusan untuk kelompok.
c.
Manajer menyajikan latar belakang keputusan dengan ide-ide dan
mengundang pertanyaan.
d.
Manajer menyarankan keputusan sementara dan mengundang diskusi tentang
hal itu.
e.
Manajer menyajikan situasi atau masalah, mendapat saran, kemudian
memutuskan.
f.
Manajer menjelaskan situasi, mendefinisikan parameter dan meminta tim
untuk memutuskan.
g.
Manajer memungkinkan tim untuk mengidentifikasi masalah, mengembangkan
pilihan, dan memutuskan tindakan, dalam batas-batas yang diterima manajer.
C. Modern
Choice Approach to Participation
Mitch Mc Crimmon (2007) menulis bahwa menjadi
pemimpin yang partisipatif berarti melibatkan anggota tim dalam pembuatan
keputusan. Hal ini terutama penting manakala pemikiran kreatif diperlukan untuk
memecahkan masalah yang kompleks atau membuat keputusan yang akan berdampak
pada anggota tim. Sedangkan Stogdill (1974) menyimpulkan bahwa banyak sekali
definisi mengenai kepemimpinan.Hal ini dikarenakan banyak sekali orang yang
telah mencoba mendefinisikan konsep kepemimpinan tersebut. Namun demikian,
semua definisi kepemimpinan yang ada mempunyai beberapa unsur yang sama.
Sarros dan Butchatsky (1996), “leadership is defined
as the purposeful behaviour of influencing others to contribute to a commonly
agreed goal for the benefit of individual as well as the organization or common
good”.Menurut definisi tersebut, kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai suatu
perilaku dengan tujuan tertentu untuk mempengaruhi aktivitas para anggota
kelompok untuk mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan manfaat
individu dan organisasi.Sedangkan menurut Anderson (1988), “leadership means
using power to influence the thoughts and actions of others in such a way that
achieve high performance”.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, kepemimpinan
memiliki beberapa implikasi. Antara lain:
1)
Kepemimpinan berarti melibatkan orang atau pihak lain atau mempengaruhi
orang lain yaitu para karyawan atau bawahan (followers). Para karyawan atau
bawahan harus memiliki kemauan untuk menerima arahan dari pemimpin dan ikut
berpartisipasi guna mencapai tujuan organisasi atau perusahaan. Walaupun
demikian, tanpa adanya karyawan atau bawahan, kepemimpinan tidak akan ada juga.
2)
Seorang pemimpin yang efektif adalah seseorang yang dengan kekuasaannya
(his or herpower) mampu menggugah pengikutnya untuk mencapai kinerja yang
memuaskan. Menurut French dan Raven (1968), kekuasaan yang dimiliki oleh para
pemimpin dapat bersumber dari:
a.
Reward power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin
mempunyai kemampuan dan sumberdaya untuk memberikan penghargaan kepada bawahan
yang mengikuti arahan-arahan pemimpinnya.
b.
Coercive power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin
mempunyai kemampuan memberikan hukuman bagi bawahan yang tidak mengikuti
arahan-arahan pemimpinnya
c.
Legitimate power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin
mempunyai hak untuk menggunakan pengaruh dan otoritas yang dimilikinya.
d.
Referent power, yang didasarkan atas identifikasi (pengenalan) bawahan
terhadap sosok pemimpin. Para pemimpin dapat menggunakan pengaruhnya karena
karakteristik pribadinya, reputasinya atau karismanya.
e. Expert
power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin adalah seeorang
yang memiliki kompetensi dan mempunyai keahlian dalam bidangnya.Para pemimpin
dapat menggunakan bentuk-bentuk kekuasaan atau kekuatan yang berbeda untuk
mempengaruhi perilaku bawahan dalam berbagai situasi.
3)
Kepemimpinan harus memiliki kejujuran terhadap diri sendiri (integrity),
sikap bertanggungjawab yang tulus (compassion), pengetahuan (cognizance),
keberanian bertindak sesuai dengan keyakinan (commitment), kepercayaan pada
diri sendiri dan orang lain (confidence) dan kemampuan untuk meyakinkan orang
lain (communication) dalam membangun organisasi. Walaupun kepemimpinan
(leadership) seringkali disamakan dengan manajemen (management), kedua konsep
tersebut berbeda.
Perbedaan antara pemimpin dan manajer dinyatakan
secara jelas oleh Bennis and Nanus (1995). Pemimpin berfokus pada mengerjakan
yang benar sedangkan manajer memusatkan perhatian pada mengerjakan secara tepat
(“managers are people who do things right and leaders are people who do the
right thing, “). Kepemimpinan memastikan tangga yang kita daki bersandar pada
tembok secara tepat, sedangkan manajemen mengusahakan agar kita mendaki tangga
seefisien mungkin.
D.
Contigency Theory Fiedler
Model kontongensi dari kepemimpinan yg efektif
dikembangkan oleh fiedler(1967). Menurut model ini, maka “the performance of
the group is contingent upon both the motivational system of the leader and the
degree to which the leader has control and influence in a particular situation,
the situational favorableness “ (fiedler,1974). Dg kata lain, tinggi rendahnya
prestasi kerja satu kelompok dipengaruhi oleh system motivasi dari pemimpin dan
sejauh mana pemimpin dapat mengendalikan dan mempengaruhi suatu situasi
tertentu.
Tanggapan-tanggapan terhadap skala tersebut
(biasanya 18-25 total) yang disimpulkan dan rata-rata: skor LPC tinggi
menunjukkan bahwa pemimpin memiliki orientasi hubungan antar manusia, sedangkan
skor LPC rendah menunjukkan orientasi tugas. Fiedler mengasumsikan bahwa setiap
orang yang paling tidak disukai rekan kerja di Kenyataannya adalah rata-rata
sekitar sama-sama tidak menyenangkan. Tetapi orang-orang yang memang hubungan
termotivasi, cenderung untuk menggambarkan paling tidak disukai rekan kerja
mereka dalam cara yang lebih positif, misalnya, lebih menyenangkan dan lebih
efisien. Oleh karena itu, mereka menerima nilai LPC tinggi. Tugas orang-orang
yang termotivasi, di sisi lain, cenderung untuk menilai paling tidak disukai
rekan kerja mereka dalam cara yang lebih negatif. Oleh karena itu, mereka
menerima skor LPC rendah. Jadi, rekan kerja yang dipilih yang terkecil (LPC)
skala ini sebenarnya tidak tentang pekerja pilihan yang paling tidak sama
sekali, sebaliknya, ini adalah tentang orang yang mengambil tes; ini adalah
tentang motivasi orang itu tipe. Ini sangat, karena, orang yang paling tidak
disukai menilai rekan kerja mereka dalam cahaya yang relatif baik pada skala
ini memperoleh kepuasan atas hubungan interpersonal, dan mereka yang menilai
rekan kerja dalam waktu yang relatif ringan tidak menguntungkan memperoleh
kepuasan keluar dari tugas sukses kinerja. Metode ini mengungkapkan suatu
reaksi emosional individu kepada orang-orang mereka tidak dapat bekerja
dengan.Pengkritik menunjukkan bahwa hal ini tidak selalu akurat pengukuran
efektivitas kepemimpinan. Situasi yang menguntungkan (situational
favorableness), yaitu sejauh mana pemimpin dapat mengendalikan dan mempengaruhi
situasi tertentu, ditentukan oleh tiga variable situasi:
1) Hubungan
pemimpin-anggota (leader member relations). Hubungan pribadi pemimpin dengan
anggota kelompoknya.
2)
Struktur tugas (task structure). Derajat struktur dari tugas yang
diberikan kepada kelompok untuk dikerjakan.
3)
Kekuasan kedudukan (position power). Kekuasaan dan kewewenangan yg
terberikan dari kedudukannya.
Ketika ada seorang pemimpin yang baik hubungan
anggota, tugas yang sangat terstruktur, dan posisi pemimpin yang tinggi
kekuasaan, situasi ini dianggap sebagai "situasi yang menguntungkan."Fiedler
menemukan bahwa para pemimpin LPC rendah lebih efektif dalam sangat
menguntungkan atau situasi yang tidak menguntungkan, sedangkan para pemimpin
LPC tinggi performa terbaik dalam situasi dengan tingkat favourability.
Karena kepribadian relatif stabil, model kontingensi
menunjukkan bahwa meningkatkan efektivitas memerlukan mengubah situasi agar
sesuai dengan pemimpin.Ini disebut "pekerjaan rekayasa."Organisasi
atau pemimpin dapat meningkatkan atau menurunkan posisi tugas struktur dan kekuasaan,
juga pelatihan dan pengembangan kelompok dapat meningkatkan hubungan
pemimpin-anggota. Dalam buku 1976 Meningkatkan Efektivitas Kepemimpinan: The
Leader Match Konsep Fiedler (dengan Martin Chemers dan Linda Mahar)
mondar-mandir menawarkan diri program pelatihan kepemimpinan yang dirancang
untuk membantu para pemimpin favourableness mengubah situasi, atau situasional
kendali.
1) Tugas
kepemimpinan berorientasi akan dianjurkan dalam bencana alam, seperti banjir
atau api. Dalam situasi yang tidak menentu pemimpin-hubungan anggota biasanya
miskin, tugas terstruktur, dan kekuasaan posisi lemah. Orang yang muncul
sebagai pemimpin untuk mengarahkan aktivitas kelompok biasanya tidak tahu
bawahan secara pribadi. Tugas-pemimpin yang berorientasi pada hal-hal yang dilakukan
akan terbukti menjadi yang paling berhasil. Jika pemimpin adalah perhatian
(berorientasi pada hubungan), mereka mungkin membuang begitu banyak waktu dalam
bencana, bahwa segala sesuatu keluar dari kehidupan DNS dan hilang.
2)
Pekerja kerah biru pada umumnya ingin tahu persis apa yang seharusnya
mereka lakukan. Oleh karena itu, lingkungan kerja mereka biasanya sangat
terstruktur. Posisi pemimpin kekuasaan yang kuat jika punggung manajemen
keputusan mereka. Akhirnya, meskipun pemimpin mungkin tidak berorientasi pada
hubungan, hubungan pemimpin-anggota mungkin sangat kuat jika mereka dapat
memperoleh promosi dan kenaikan gaji untuk bawahan. Dalam situasi ini
tugas-gaya kepemimpinan berorientasi lebih disukai di atas (perhatian) gaya
berorientasi pada hubungan.
3)
Perhatian (berorientasi pada hubungan) gaya kepemimpinan dapat tepat
dalam lingkungan di mana situasi ini cukup menguntungkan atau tertentu.
4) Para
peneliti sering menemukan bahwa teori kontingensi Fiedler yang jatuh pada fleksibilitas
pendek.
5) Mereka
juga menyadari bahwa nilai LPC dapat gagal untuk mencerminkan ciri-ciri
kepribadian yang seharusnya mereka berpikir.
6) Teori
kontingensi Fiedler ini telah menarik kritik karena menyiratkan bahwa
satu-satunya alternatif untuk ketidaksesuaian dapat diubah orientasi pemimpin
dan situasi yang tidak menguntungkan sedang mengubah pemimpin.
7)
Validitas model juga telah diperdebatkan, meskipun banyak mendukung tes
(Bass 1990).
8) Kritik
lain menyangkut metodologi mengukur gaya kepemimpinan melalui LPC inventarisasi
dan sifat dari bukti-bukti pendukung . Fiedler dan rekan-rekannya telah
menyediakan dekade penelitian untuk mendukung dan memperbaiki teori
kontingensi.
9) Untuk
Fiedler, stres adalah penentu utama efektivitas pemimpin (Fiedler dan Garcia
1987; Fiedler et al. 1994), dan sebuah pembedaan dibuat antara stres yang
terkait dengan pemimpin atasan, dan stres yang berkaitan dengan bawahan atau
situasi itu sendiri. Dalam situasi stres, pemimpin diam di atas stres hubungan
dengan orang lain dan tidak dapat fokus kemampuan intelektual mereka dalam
pekerjaan. Dengan demikian, intelijen lebih efektif dan lebih sering digunakan
dalam situasi bebas stres. Fiedler telah menemukan bahwa pengalaman merusak
kinerja dalam kondisi stres rendah tetapi memberikan kontribusi untuk performa
di bawah kondisi stres tinggi. Seperti halnya dengan faktor-faktor situasional
lain, untuk situasi stres Fiedler merekomendasikan atau teknik mengubah situasi
kepemimpinan untuk memanfaatkan kekuatan pemimpin. Walaupun semua kritik, teori
kontingensi Fiedler ini merupakan teori penting karena membentuk suatu
perspektif baru untuk studi kepemimpinan. Banyak pendekatan setelah teori
fiedler telah mengadopsi perspektif kontingensi.
10) Fred Fiedler's
situasional kontingensi teori menyatakan bahwa efektivitas kelompok tergantung
pada pertandingan yang tepat antara gaya pemimpin (mengukur suatu sifat
dasarnya) dan tuntutan situasi. Fiedler mengendalikan situasi mempertimbangkan
sejauh mana seorang pemimpin dapat menentukan apa yang kelompok mereka akan
lakukan untuk menjadi faktor kontingensi utama dalam menentukan efektivitas
perilaku pemimpin.
11) Lebih
lanjut teori Fiedler berpendapat bahwa kebanyakan situasi akan memiliki tiga
aspek yang hirarkis struktur akan peran pemimpin. Aspek pertama atmosfer -
kepercayaan, dan kesetiaan kelompok merasa terhadap pemimpin. Variabel kedua
adalah ambiguitas atau kejelasan struktur tugas kelompok. Terakhir yang melekat
otoritas atau kekuasaan pemimpin memainkan peran penting dalam kinerja
kelompok.
12) Teori
Keputusan Normatif, kadang-kadang disebut Teori Permainan, usaha untuk model
proses menuju keputusan bisnis yang optimal. Pengambilan keputusan normatif
jarang terjadi di dunia nyata, di mana rasionalitas sempurna tidak sesuai
dengan perilaku aktual. Pendekatan yang lebih deskriptif tentang bagaimana
orang benar-benar membuat keputusan yang dikenal sebagai Analisis Keputusan.
Teoretisi studi kerjasama dengan para pemimpin buruh, dan di antara satu sama lain,
dan seberapa dekat keputusan akhir berkorelasi dengan normatif atau keputusan
yang optimal.
E. Path
Goal Teori
Sekarang ini salah satu pendekatan yang paling
diyakini adalah teori path-goal adalah suatu model kontijensi kepemimpinan yang
dikembangkan oleh Robert House, yang menyaring elemen-elemen dari penelitian
Ohio State tentang kepemimpinan pada inisiating structure dan consideration
serta teori pengharapan motivasi.
Dasar dari teori ini adalah bahwa merupakan tugas
pemimpin untuk membantu anggotanya dalam mencapai tujuan mereka dan untuk
memberi arah dan dukungan atau keduanya yang dibutuhkan untuk menjamin tujuan
mereka sesuai dengan tujuan kelompok atau organisasi secara keseluruhan.Istilah
path-goal ini datang dari keyakinan bahwa pemimpin yang efektif memperjelas
jalur untuk membantu anggotanya dari awal sampai ke pencapaian tujuan mereka,
dan menciptakan penelusuran disepanjang jalur yang lebih mudah dengan
mengurangi hambatan dan pitfalls (Robbins, 2002).
Menurut teori path-goal, suatu perilaku pemimpin
dapat diterima oleh bawahan pada tingkatan yang ditinjau oleh mereka sebagai
sebuah sumber kepuasan saat itu atau masa mendatang. Perilaku pemimpin akan
memberikan motivasi sepanjang, membuat bawahan merasa butuh kepuasan dalam
pencapaian kinerja yang efektif, dan menyediakan ajaran, arahan, dukungan dan
penghargaan yang diperlukan dalam kinerja efektif (Robins, 2002).
Untuk pengujian pernyataan ini, Robert House
mengenali empat perilaku pemimpin.Pemimpin yang berkarakter directive-leader, supportive
leader, participative leader dan achievement-oriented leader.Berlawanan dengan
pandangan Fiedler tentang perilaku pemimpin, House berasumsi bahwa pemimpin itu
bersifat fleksibel. Teori path-goal mengimplikasikan bahwa pemimpin yang sama
mampu menjalankan beberapa atau keseluruhan perilaku yang bergantung pada
situasi (Robins, 2002).
Model kepemimpinan path-goal berusaha meramalkan
efektivitas kepemimpinan dalam berbagai situasi.Menurut model ini, pemimpin
menjadi efektif karena pengaruh motivasi mereka yang positif, kemampuan untuk
melaksanakan, dan kepuasan pengikutnya.Teorinya disebut sebagai path-goal
karena memfokuskan pada bagaimana pimpinan mempengaruhi persepsi pengikutnya
pada tujuan kerja, tujuan pengembangan diri, dan jalan untuk menggapai tujuan.
Model path-goal menjelaskan bagaimana seorang
pimpinan dapat memudahkan bawahan melaksanakan tugas dengan menunjukkan
bagaimana prestasi mereka dapat digunakan sebagai alat mencapai hasil yang
mereka inginkan.Teori Pengharapan (Expectancy Theory) menjelaskan bagaimana
sikap dan perilaku individu dipengaruhi oleh hubungan antara usaha dan prestasi
(path-goal) dengan valensi dari hasil (goal attractiveness). Individu akan
memperoleh kepuasan dan produktif ketika melihat adanya hubungan kuat antara usaha
dan prestasi yang mereka lakukan dengan hasil yang mereka capai dengan nilai
tinggi. Model path-goal juga mengatakan bahwa pimpinan yang paling efektif
adalah mereka yang membantu bawahan mengikuti cara untuk mencapai hasil yang
bernilai tinggi.
Secara mendasar, model ini menjelaskan apa yang
harus dilakukan oleh seorang pimpinan untuk mempengaruhi persepsi bawahan
tentang pekerjaan dan tujuan pribadi mereka dan juga menjelaskan apa yang harus
dilakukan oleh seorang pemimpin untuk memotivasi dan memberikan kepuasan kepada
bawahannya. Model path-goal menganjurkan bahwa kepemimpinan terdiri dari dua
fungsi dasar:
1) Fungsi
Pertama; adalah memberi kejelasan alur. Maksudnya, seorang pemimpin harus mampu
membantu bawahannya dalam memahami bagaimana cara kerja yang diperlukan di
dalam menyelesaikan tugasnya.
2) Fungsi
Kedua; adalah meningkatkan jumlah hasil (reward) bawahannya dengan memberi
dukungan dan perhatian terhadap kebutuhan pribadi mereka.
3) Untuk
membentuk fungsi-fungsi tersebut, pemimpin dapat mengambil berbagai gaya
kepemimpinan. Empat perbedaan gaya kepemimpinan dijelaskan dalam model
path-goal sebagai berikut (Koontz et al dalam Kajanto, 2003).
a.
Kepemimpinan pengarah (directive leadership)
Pemimpinan memberitahukan kepada bawahan apa yang
diharapkan dari mereka, memberitahukan jadwal kerja yang harus disesuaikan dan
standar kerja, serta memberikan bimbingan/arahan secara spesifik tentang
cara-cara menyelesaikan tugas tersebut, termasuk di dalamnya aspek perencanaan,
organisasi, koordinasi dan pengawasan.
b.
Kepemimpinan pendukung (supportive leadership)
Pemimpin bersifat ramah dan menunjukkan kepedulian
akan kebutuhan bawahan. Ia juga memperlakukan semua bawahan sama dan
menunjukkan tentang keberadaan mereka, status, dan kebutuhan-kebutuhan pribadi,
sebagai usaha untuk mengembangkan hubungan interpersonal yang menyenangkan di
antara anggota kelompok. Kepemimpinan pendukung (supportive) memberikan
pengaruh yang besar terhadap kinerja bawahan pada saat mereka sedang mengalami
frustasi dan kekecewaan.
c.
Kepemimpinan partisipatif (participative leadership)
Pemimpin partisipatif berkonsultasi dengan bawahan
dan menggunakan saran-saran dan ide mereka sebelum mengambil suatu
keputusan.Kepemimpinan partisipatif dapat meningkatkan motivasi kerja bawahan.
d.
Kepemimpinan berorientasi prestasi (achievement-oriented leadership)
Gaya kepemimpinan dimana pemimpin menetapkan tujuan
yang menantang dan mengharapkan bawahan untuk berprestasi semaksimal mungkin
serta terus menerus mencari pengembangan prestasi dalam proses pencapaian
tujuan tersebut.
Dengan menggunakan salah satu dari empat gaya di
atas, dan dengan memperhitungkan faktor-faktor seperti yang diuraikan tersebut,
seorang pemimpin harus berusaha untuk mempengaruhi persepsi para karyawan atau
bawahannya dan mampu memberikan motivasi kepada mereka, dengan cara mengarahkan
mereka pada kejelasan tugas-tugasnya, pencapaian tujuan, kepuasan kerja dan
pelaksanaan kerja yang efektif.
Terdapat dua faktor situasional yang
diidentifikasikan kedalam model teori path-goal, yaitu: personal characteristic
of subordinate and environmental pressures and demmand (Gibson, 2003).
1)
Karakteristik Bawahan
Pada faktor situasional ini, teori path-goal
memberikan penilaian bahwa perilaku pemimpin akan bisa diterima oleh bawahan
jika para bawahan melihat perilaku tersebut akan merupakan sumber yang segera
bisa memberikan kepuasan atau sebagai suatu instrumen bagi kepuasan-kepuasan
masa depan. Karakteristik bawahan mencakup tiga hal, yakni:
a. Letak
Kendali (Locus of Control)
Hal ini berkaitan dengan keyakinan individu
sehubungan dengan penentuan hasil.Individu yang mempunyai letak kendali
internal meyakini bahwa hasil (reward) yang mereka peroleh didasarkan pada
usaha yang mereka lakukan sendiri.Sedangkan mereka yang cenderung letak kendali
eksternal meyakini bahwa hasil yang mereka peroleh dikendalikan oleh kekuatan
di luar kontrol pribadi mereka. Orang yang internal cenderung lebih menyukai
gaya kepemimpinan yang participative, sedangkan eksternal umumnya lebih
menyenangi gaya kepemimpinan directive.
b.
Kesediaan untuk Menerima Pengaruh (Authoritarianism)
Kesediaan orang untuk menerima pengaruh dari orang
lain. Bawahan yang tingkat authoritarianism yang tinggi cenderung merespon gaya
kepemimpinan yang directive, sedangkan bawahan yang tingkat authoritarianism
rendah cenderung memilih gaya kepemimpinan partisipatif.
c.
Kemampuan (Abilities)
Kemampuan dan pengalaman bawahan akan mempengaruhi
apakah mereka dapat bekerja lebih berhasil dengan pemimpin yang berorientasi
prestasi (achievement-oriented) yang telah menentukan tantangan sasaran yang
harus dicapai dan mengharapkan prestasi yang tinggi, atau pemimpin yang
supportive yang lebih suka memberi dorongan dan mengarahkan mereka. Bawahan
yang mempunyai kemampuan yang tinggi cenderung memilih gaya kepemimpinan
achievement oriented, sedangkan bawahan yang mempunyai kemampuan rendah
cenderung memilih pemimpin yang supportive.
2) Karakteristik Lingkungan pada faktor
situasional ini path-goal menyatakan bahwa perilaku pemimpin akan menjadi
faktor motivasi terhadap para bawahan, jika:
a.
Perilaku tersebut akan memuaskan kebutuhan bawahan sehingga akan
memungkinkan tercapainya efektivitas dalam pelaksanaan kerja.
b.
Perilaku tersebut merupakan komplimen dari lingkungan para bawahan yang
dapat berupa pemberian latihan, dukungan dan penghargaan yang diperlukan untuk
mengidentifikasikan pelaksanaan kerja.
Karakteristik lingkungan terdiri dari tiga hal,
yaitu:
1.
Struktur Tugas
Struktur kerja yang tinggi akan mengurangi kebutuhan
kepemimpinan yang direktif.
2.
Wewenang Formal
Kepemimpinan yang direktif akan lebih berhasil
dibandingkan dengan participative bagi organisasi dengan strktur wewenang
formal yang tinggi
3.
Kelompok Kerja
Kelompok kerja dengan tingkat kerjasama yang tinggi
kurang membutuhkan kepemimpinan supportive.
Daftar pustaka
Munandar, Ashar Sunyoto. (2001). Psikologi Industri dan
Organisasi. Jakarta.
Universitas Indonesia
Vroom, VH dan Yetton, PW.(1973). Kepemimpinan
dan pengambilan keputusan.
Pittsburg: University of Pittsburg.
Yukl, G. A., R. Lepsinger, and T. Lucia. 1992.
Preliminary Report on the
Development and Validation of the Influence Behavior
Questionnaire.in Impact of Leadership. Eds. K. E. Clark.
Cholisin, M. Si dkk. 2006.
Dasar-dasarIlmuPolitik. Yogyakarta : FISE UNY
Miftah Thoha, 2005. Perilaku Organisasi (Konsep
Dasar dan Aplikasinya).
Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar